Pendidikan Ilmu Fiqh “Ji’alah”
Oleh :
Siti Nur Fadhilah (111-13-158)
I. Pendahuluan
Dalam dunia Islam
perlu kita memahami ilmu-ilmu fiqh, karena dengan ilmu tersebut kita dapat
mengaplikasikannya untuk kehidupan sehari-hari. Seperti yang akan kita bahas
dalam makalah ini mengenai ji’alah yang mana membahas tentang upah ataupun
bayaran yang menjadi imbalan seseorang atas usahanya atau pekerjaannya.
Dapat kita ketahui
bahwa ji’alah itu sejenis akad untuk suatu manfaat materi yang diduga kuat dapat
diperoleh, misal : orang yang diji’alahkan untuk suatu pekerjaan, dapat
mengembalikan barang yang hilang, atau ternaknya menghilang, atau pemuatan
dinding, atau menggali sumur sampai ada airnya, atau diminta menyembuhkan orang
sakit sampai sembuh.
II. Pengertian Ji’alah
Ji’alah adalah
sejenis akad untuk suatu manfaat materi yang diduga kuat dapat diperoleh, misal
: orang yang diji’alahkan untuk suatu pekerjaan, dapat mengembalikan barang
yang hilang, atau ternaknya menghilang, atau pemuatan dinding, atau menggali
sumur sampai ada airnya, atau diminta menyembuhkan orang sakit sampai sembuh,
ataupun menang dalam suatu kompetisi.[1]
Menurut
terminologi, “ji’alah” adalah keharusan melakukan sesuatu secara mutlak sebagai
bayaran tertentu atas suatu pekerjaan tertentu atau sesuatu yang belum
diketahui dengan sesuatu yang sudah pasti atau lainnya.
Sebagian ulama’
mendefinisikan dengan “kewajiban
membayar upah tertentu atas pekerjaan yang berat walaupun bayarannya belum
pasti.[2]
III. Landasan Hukum
Sebagai dasar landasan hukumnya adalah firman Allah dalam QS.Yusuf
: 72 yang berbunyi :
وَلِمَنْ جَاءَحِمْلُ بَعِيْرٌوَأَنَا بِهِ زَعِيْمٌ
Artinya : “Dan siapa yang dapat mengembalikannya akan memperoleh
bahan makanan (seberat) beban unta, dan aku menjamin terhadapnya.”
Selain itu,
Rosulullah juga membolehkan pengambilan upah atas pengobatan dengan menggunakan
bacaan Al-Qur’an yaitu dengan surat Al-Fatihah.
Ji’alah
diperbolehkan lantaran diperlukan, maka dari itu dalam ji’alah diperbolehkan
apa-apa yang tidak diperbolehkan untuk yang lainnya. Dalam ji’alah dibolehkan
materinya tidak diketahui, dan tidak disyaratkan hadirnya dua belah pihak yang
berakad seperti yang disyaratkan pada akad-akad lain.
Dalam kaitan
ji’alah, sebagian ulama ada yang melarangnya (Ibnu Hazm), dalam kitab
Al-Mahalli ia mengatakan : “Tidak diperbolehkan menji’alahkan seseorang, siapa
yang berkata kepada orang lain : Jika kau dapat mengembalikan kepadaku,
budakku yang melarikan diri, maka aku berkewajiban membayarmu sekian dinar. Atau
berkata : Jika kau melakukan ini dan ini, kau akan kuberikan kepadamu sekian
dirham.
Bagi kaum yang mewajibkan ji’al dan mereka menentukan wajibnya
orang yang memenuhi janjinya. Mereka berdalil dalam firman Allah dalam QS. Al-Maidah
:1 yang berbunyi :
ياأَيهاالّذين امنواأوفوابالعقود........
Artinya : “Hai orang-orang yang beriman, penuhilah janjimu....”
IV. Rukun Ji’alah
Menurut sebagian ulama,
rukun ji’alah ada lima, yaitu :
a.
Pemberi
ji’alah, ada dua syarat :
1. Memiliki kebebasan berbuat dengan syarat semua tindakannya sah
dengan apa yang dilakukannya sebagai upah baik ia sebagai pemilik atau bukan,
termasuk didalamnya wali dan tidak termasuk anak kecil, orang gila dan idiot.
2. Mempunyai pilihan, jika terpaksa, maka akad tidak sah.
b.
Pekerja,
dengan syarat :
1. Mempunyai izin untuk bekerja dari orang yang punya harta
2. Hendaklah si pekerja yang memang ahli dengan pekerjaan itu jika
memang dijelaskan bentuknya
3. Si pekerja tidak berhak
mendapatkan upah kecuali jika sudah selesai bekerja
c.
Upah,
syaratnya :
1.
Berupa
harta yang memang menjadi maksud untuk dimiliki, terhormat atau hak khusus, dan
jika bukan yang menjadi tujuan dari memiliki
2.
Harus
diketahui, sebab dia adalah bayaran, maka harus ada pengetahuan tentangnya,
seperti upah dalam sewa
d.
Pekerjaan
1.
Pekerjaan
yang ditawarkan memiliki tingkat kesusahan, maka tidak ada upah bagi pekerjaan
yang tidak ada beban
2.
Pekerjaan
yang ditawarkan kepadanya bukan suatu pekerjaan yang wajib bagi si pekerja
secara syar’i, jika ia wajib secara syar’i lalu dia mengembalikannya, maka dia
tidak berhak mendapat upah
3.
Hendaklah
si pekerja menyerahkan barang yang akan dikembalikan kepada pemiliknya, jika
belum diserahkan, maka tidak ada ganti
e.
Shighat
(ucapan)
Ucapan datang dari pemberi ji’alah, sedangkan pekerja tidak disyaratkan
ada ucapan dan ada qabul darinya dengan ucapan walaupun barangnya sudah jelas,
sebab yang dinilai adalah pekerjaannya dengan akad perwakilan. Akad ji’alah
merupakan akad saling memberi dan penetapan syarat ucapan, berarti tidak ada
penentuan waktu, sebab penentuan waktu bisa merusak tujuan akad ja’alah.[3]
V. Sebab-sebab Gugurnya Akad Ji’alah
Dari segi wajib
dan bolehnya, akad bisa dibagi menjadi tiga bagian :
1.
Wajib
bagi kedua belah pihak yang berakad secara pasti, seperti akad jual beli.
2.
Wajib
bagi salah satu pihak dan bagi pihak yang lain secara pasti seperti akad gadai,
hibah.
3.
Boleh
dari kedua belah pihak seperti akad syirkah. Boleh bagi siapa saja dari kedua
belah pihak membatalkan akad sebelum ia pekerjaan selesai.
Akad ja’alah bisa berakhir dengan fasakh dari salah satu pihak yang
berakad seperti meninggal, gila, pingsan. Jika pemilik harta meninggal setelah
pekerjaan dimulai lalu dia mengembalikannya kepada ahli warisnya, maka dia
berhak mendapat upah kerja selama pemilik harta masih hidup. Jika si pekerja
meninggal kemudian diserahkan ahli warisnya, maka mereka berhak mendapatkan
upah yang sudah disepakati. Jika si pekerja membatalkan akad sebelum dia
memulai pekerjaan atau setelah dimulai, maka tidak ada upah baginya. Jika si
pemilik harta membatalkan akad setelah pekerjaan dimulai, maka dia berhak
mendapat upah standar harian karena usahanya karena bolehnya dia memberikan
akad, maka ia mempunyai kuasa atau si pekerja dan bisa membatalkan akad,
makaupah yang disepakati tidak wajib.
Bagi si pemilik
harta boleh menambahkan atau mengurangi ja’alah yang sudah disepakati sebelum
pekerjaan selesai baik sebelum pekerjaan dimulai atau setelahnya.[4]
VI. Penutup
1.Kesimpulan
Dari
materi diatas, dapat kirta simpulkan bahwa yang dimaksud ji’alah adalah keharusan
melakukan sesuatu secara mutlak sebagai bayaran tertentu atas satu pekerjaan
tertentu atau sesuatu yang belum diketahui dengan sesuatu yang sudah pasti atau
lainnya.
Dalam ji’alah terdapat beberapa rukun yang didalamnya masing-masing
terdapat syarat-syarat, diantaranya : pemberi ji’alah, pekerja, pekerjaan,
upah, dan sighat.
Ji’alah
adalah jenis akad jaiz, yang kedua belah pihak boleh memfasakhnya. Adalah
menjadi haknya jika si pemegang ji’alah untuk memfasakh, sebelum menyukseskan
pekerjaan, dan ia pun berhak untuk membatalkan sesudah itu, jika ia merelakan
hanya gugur.
2.Daftar pustaka
Sabiq, Sayid, Fiqh Sunnah, (Jakarta; PT.Al-Ma’arif, 1987),
cet.1
Muhammad Azam, Abdul Aziz, Fiqih Mu’amalah Sistem Transakasi
dalam Fiqih Islam, (Jakarta; Amzah, 2010), cet.1
[1] Sayyid
Sabiq, Fiqh Sunnah, Cet. 1. (Jakarta; PT Al-Ma’arif, 1987), hlm. 190.
[2] Abdul
Aziz Muhammad Azam, Fiqh Mu’amalah Sistem Transaksi dalam Fiqih Islam,
Cet. 1. (Jakarta; Amzah, 2010), hlm. 331.
[3] Abdul
Aziz Muhammad Azzam, Fiqih Mu’amalah Sistem Transaksi dalam Fiqih Islam,
hlm. 333-338.
[4] Ibid,
hlm. 341-345
Tidak ada komentar:
Posting Komentar