“Profil Ali bin Abi Thalib sebagai Tokoh Pendidikan Islam”
Oleh :
Siti Nur Fadhilah (111-13-158)
I.Pendahuluan
Ali bin Abi Thalib
adalah orang yang paling awal memeluk Islam (assabiqunal-awwalun) dan menjadi
khalifah terakhir dalam Khulafaurrasyidin yang mempunyai pandangan Islam Sunni
dan beliau menjadi orang Islam yang masuk pertama (assabiqunal-awwalun) dari
golongan anak-anak. Masa remajanya banyak waktu yang beliau habiskan untuk
belajar bersama Rosulullah SAW, sehingga Ali r.a tumbuh menjadi seorang pemuda
yang cerdas, berakhlak mulia, berani, dan bijak. Seperti dalam pepatah, jika
Rosulullah SAW adalah gudang ilmu, maka Ali r.a bagaikan kunci untuk membuka
gudangnya.
Kecerdasan
berfikir Ali r.a sukar dicari bandingannya. Maka dengan kecerdasannya itulah
Ali mencapai puncak martabat sebagai cendekiawan Islam yang menguasai secara
luas berbagai pengetahuan yang ada pada bangsa Arab dimasa itu, sehingga tidak
ada cabang ilmu pengetahuan yang ia tidak turut menyumbang atau turut
meletakkan kaidah-kaidahnya.
Ali r.a bukanlah orang
yang memandang persoalan hanya dari segi kulitnya saja, melainkan memandangnya
sedemikian dalam dan mengkaji serta menggali ajaran-ajaran agama Islam didalam
Al-Qur’an secara sistematik sebagaimana yang biasa dilaksanakan oleh para ahli
fikir. Banyak ilmu yang beliau rintis termasuk ilmu fiqh, ilmu kalam, ilmu
nahwu, ilmu bahasa Arab, dan lain-lain.
II.Biografi Ali bin Abi Thalib
Ali bin Abi Thalib
lahir pada Jum’at malam tanggal 13 Rajab (30 tahun setelah tahun Gajah/600 M)
yaitu 10 tahun setelah dimulainya kenabian Nabi Muhammad SAW (599 M) di Mekkah
daerah Hijaz, Jazirah Arab oleh ibundanya yang bernama Fatimah binti Asad bin
Hasyim yang merupakan isteri Abu Thalib. Dalam kitab “Fushulul-Muhimmah”
karangan As-Sabbagh Al-Maliki, mengatakan bahwa Ali r.a dilahirkan didalam
Ka’bah. Berkenaan dengan kelahiran Ali, terdapat sebuah syair Arab yang
komposisi bait-baitnya yaitu :
“Ali adalah seseorang yang telah menjadikan Rumah Allah sebagai
rumah persalinan, dan ia adalah orang yang mencampakkan berhala-berhala keluar
dari Ka’bah, Ali adalah bayi pertama sekaligus terakhir yang dilahirkan didalam
Ka’bah”
Ketika Ali dilahirkan, hanya Rosulullah SAW yang memasuki Ka’bah
untuk mengucapkan selamat dan menyambut kelahirannya dengan memeluknya sebagai
hamba Allah. Nabi tentu mengetahui bahwa bayi itu suatu hari kelak akan menjadi
penumpas seluruh penyembah berhala dan kaum musyrik, termasuk tuhan-tuhan dan
kepercayaan mereka.
Ali mempunyai nama kecil yang diberikan ibunya, yaitu “Haydar” yang
berarti “Singa”, hingga setelah dewasa
mempunyai beberapa nama panggilan. Beliau juga dipanggil dengan “Abul-Hasan”
dan “Abul-Husain” yang masing-masing diambil dari nama dua puteranya yaitu
Hasan dan Husein. Ali r.a juga mempunyai nama panggilan yang diberikan oleh
Rosulullah SAW, yaitu “Abu Turab”. Ali merasa bangga mendapatkan nama panggilan
dari Rosulullah SAW, tetapi orang-orang Bani Umayyah menganggap nama tersebut
sebagai celaan dan ejekan.
Ali bin Abi Thalib
sejak kecil dibesarkan dalam asuhan Rosulullah SAW hingga diangkat menjadi Nabi
dan Rosul. Hal ini dimaksudkan untuk membalas jasa kepada Abu Thalib yang telah mengasuhnya
sejak kecil hingga dewasa. Ali r.a adalah orang pertama yang beriman kepada
Allah dan Rosul-Nya (Muhammad SAW) yang diangkat
sebagai Nabi dan Rosul pada hari Senin, dan keesokan harinya Ali r.a memeluk
Islam (usia 10 tahun).
Ali r.a selalu menyertai Rosulullah SAW dan membelanya selama 23
tahun yaitu sejak bi’tsah hingga Nabi SAW wafat di Madinah. Banyak beban dan
derita yang dialami Ali r.a, namun beliau tetap sabar dan tabah dalam berjuang
dan mendampingi Rosulullah SAW.
Hingga pada suatu saat, Rosulullah mengawinkannya dengan putrinya
yang bernama Fatimah Az-Zahra binti Muhammad SAW dengan memiliki empat
putera-puteri yaitu :
1.
Al-Hasan
RA
2.
Al-Husein
RA
3.
Zainab
Al-Kubra RA
4.
Zainab
As-Shughra RA (Ummu Kaltsum)
Setelah meninggalnya isteri pertama, maka ia melanjutkan menikah
dengan beberapa isteri-isteri dengan berturut-turut.
Rasulullah SAW
memberikan didikan langsung kepada Ali r.a dengan semua ilmu Islam, baik aspek
zahir (syari’ah) dan batin (tasawuf) untuk menggembleng Ali r.a menjadi
seseorang yang cerdas, berani, dan bijaksana serta fasih dalam berbicara. Ali
r.a telah meriwayatkan banyak hadis Rosulullah SAW.
Ali r.a mempunyai akhlak yang sangat mulia, beliau terkenal dengan
keagungan takwanya kepada Allah SWT dan karena ketakwaan tersebut menjadi
pendorong utama bagi perilakunya terhadap diri sendiri, kaum kerabatnya, dan
terhadap semua orang. Beliau juga menghormati kedudukan orang lain, rendah
hati, adil, zuhud, tidak pernah takabbur dan sombong, dan akhlak yang paling
utama adalah kesahajaan (kesederhanaan). Hingga Rosulullah SAW pun mengatakan
kepada Ali r.a : ”Engkau mengungguli orang lain dalam tujuh perkara. Tak ada
seorang Quraisy pun yang dapat menyangkalnya. Yaitu :
1.
Engkau
adalah orang pertama yang beriman kepada Allah
2.
Engkau
orang yang terdekat dengan janji Allah
3.
Engkau
orang yang termampu menegakkan perintah Allah
4.
Engkau
orang yang paling adil mengatur pembagian (ghanimah)
5.
Engkau
orang yang paling adil terhadap rakyat
6.
Engkau
paling banyak mengetahui semua persoalan
7.
Engkau
orang yang paling tinggi nilai kebaikan sifatnya disisi Allah.
III.Kepemimpinan Ali bin Abi Thalib
Setelah Khalifah Utsman r.a gugur, di kota Madinah tidak mempunyai
khalifah selama lima hari, karena pada saat itu Ali r.a belum bersedia untuk
menerima bai’at akan tetapi banyak orang yang memandang Ali r.a lah
satu-satunya sahabat yang berhak dibai’at. Ali r.a khawatir jika musuh-musuh
Islam akan melancarkan serangan dan menduduki daerah-daerah sekitar garis
pertahanan pasukan muslim. Karena kekhawatirannya dan beliau tidak ingin itu
terjadi, maka atas dorongan orang banyak, Ali r.a akhirnya bersedia untuk dibai’at sebagai
khalifah (amirul mu’minin) dimana Ali r.a berpendapat bahwa umat Islam harus
dipimpin oleh imam yang adil, menjamin perlindungan bagi setiap orang,
menegakkan hukum Allah, mendistribusikan kekayaan negara dengan adil,
mempertimbangkan sesuatu berdasarkan Al-Qur’an dan Sunnah serta menegakkan
kewibawaan dan keadilan hukum. Ali r.a menjadi khalifah ke-empat dalam
Khulafaurrasyidin selama 5 tahun antara 656-661 M setelah wafatnya Usman. Pada
masa kekhalifahan Ali r.a, beliau mendapat berbagai tantangan dari pihak
pendukung Usman, terutama Mu’awiyah, Gubernur Damaskus, dari golongan Thalhah
dan Zubeir di Mekkah dan Kaum Khawarij. Akan tetapi Ali r.a tetap melaksanakan
berbagai kebijakan yang dapat mendorong peningkatan kesejahteraan umat.
Dalam memimpin umat, Ali r.a mengambil beberapa langkah yang akan
beliau tempuh. Langkah pertama yang diambil Ali r.a setelah dibai’at, beliau
memerintahkan orang-orang Badui dan rombongannya yang melibatkan diri dalam
pemberontakan supaya pulang ke daerah masing-masing. Beberapa hari kemudian
kota Madinah terlepas dari kekuasaan kaum pemberontak. Beberapa hari setelah Ali
r.a terbai’at, Ali r.a mengucapkan khutbah didepan jama’ah, yaitu : Allah
telah menurunkan Kitab-Nya (Al-Qur’an) sebagai petunjuk yang didalamnya terdapat
penjelasan mengenai baik dan buruk, maka kerjakanlah amal baik dan
tinggalkanlah amal buruk, karena itulah yang akan mengantarkan kalian menuju
surga.
Langkah kedua adalah memerintahkan diadakannya penyelidikan untuk
diketahui siapa sebenarnya diantara kaum pemberontak yang secara langsung
membunuh khalifah Utsman. Langkah yang ketiga adalah memberhentikan semua
penguasa daerah yang berlaku dzalim dan curang, menyita kekayaan yang telah
mereka timbun dari hasil penyalahgunaan kekuasaan dan menjadikannya sebagai
Baitul-Mal.
Ali r.a terbai’at sebagai khalifah dan amirul mukminin didalam
Masjid Nabawi yang dihadiri oleh ahlusyyura dan ahlu-badri. Pembai’atan sah
dipandang dari sudut hukum tradisi yang berlaku pada umat Islam pada masa itu.
Namun pada saat itu juga Bani Umayyah menyusun kekuatan untuk melancarkan
pemberontakan terhadap Ali r.a. Diantara mereka terdapat seorang Nu’man bin
Basyir, dialah yang menyerahkan baju Khalifah Utsman yang berlumuran darah yang
didalamnya terdapat potongan jari Na’ilah (isteri Khalifah Utsman) yang putus
ketika ia menangkis pedang yang diayunkan oleh seorang pemberontak yang
membunuh suaminya. Kemudian Ali r.a mengambil langkah untuk menemui Nai’lah
untuk mengajukan pertanyaan, dimana ketika peristiwa itu terdapat Muhammad bin
Abu Bakar yang masuk beserta orang-orang dari daerah lain. Akan tetapi dari
semua keterangan yang diberikan Na’ilah dan Muhammad bin Abu Bakar, bahwa ia
tidak ikut membunuh Khalifah Utsman, dengan begitu Ali r.a kehilangan jejak
siapa sebenarnya yang membunuh Khalifah Utsman.
Pada masa kekhalifahan Ali r.a, banyak terjadi pemberontakan dan
perang saudara yang menyebabkan adanya kemunduran dalam Islam dan menyebabkan
keluarnya pendukung Ali r.a dan meninggalnya pengikut Ali r.a. Kekuatan
Mu’awiyah semakin meningkat lain halnya dengan Khalifah Ali r.a, semakin
menurun dan akhirnya Ali r.a menyetujui
untuk melakukan perdamaian dengan Mu’awiyah yang akhirnya menimbulkan kemarahan
Kaum Khawarij sehingga menguatkan keinginan untuk menghukum orang-orang yang
tidak disenangi dengan membunuh Ali. Ali meninggal pada tanggal 21 Ramadhan 40
H/661 M.
Akhirnya kekuasaan Khulafaurrasyidin berakhir digantikan dengan
kekuasaan Bani Umayyah.
IV.Ali bin Abi Thalib Sebagai Tokoh Pendidikan Islam
Sejak kecil, Ali
r.a hidup dibawah naungan Rosulullah SAW yang selalu mengajarkan ilmunya kepada
Ali r.a, bahkan akhlak Rosulullah SAW diwarisi olehnya dan cara memandang
kehidupan manusia. Ali r.a mempelajari semua segi dan cabang ilmu agama Islam,
termasuk beliau menekuni mempelajari Al-Qur’an dengan baik. Beliau menguasai
dengan baik dan tepat semua nash Al-Qur’an dan menggali serta menghayati
inti-sari maknanya. Ali r.a juga menguasai hadis-hadis Nabi yang beliau dengar
sendiri dari Nabi SAW dan meriwayatkannya. Sampai Ali r.a pernah meriwayatkan
hadis yang terdapat dalam kitab“Syarah Riadhus Sholihin”.
Ali r.a juga menguasai Fiqh Islam dengan baik dengan tepat
mengamalkannya. Pada masa hidupnya orang tidak menemukan adanya ulama lain yang
melebihi Ali r.a dalam hal penguasaan Fiqh Islam dan dalam menetapkan fatwa. Hingga
Ali r.a dipercaya untuk memutuskan hukum dan memecahkan masalah hukum yang
rumit bedasarkan Al-Qur’an dan Hadis. Ali r.a tidak pernah mengalami kesulitan
dalam mengambil keputusan. Fatwa-fatwa dan keputusan-keputusan hukum yang
diambil Ali r.a meliputi dua hal, yaitu nasehat dan hukum. Keluasan pengetahuan Ali r.a tidak hanya
terbatas pada nash-nash yang berkaitan dengan hukum Fiqh saja, tetapi juga
menguasai ilmu hitung lebih dari penguasaan orang lain pada zamannya. Ali r.a
bukanlah orang yang memandang persoalan hanya dari luarnya saja, tapi mengkaji
serta menggali secara mendalam termasuk dalam mengkaji ajaran-ajaran Islam
dalam Al-Qur’an sebagai objek pemikiran dan perenungan serta diamalkan penuh
keyakinan. Dari situlah muncul Ilmu Kalam atau sebagai Filsafat Agama Islam
yang datang dari pokok-pokok pemikiran Ali r.a mengenai pemahaman Al-Qur’an
yang oleh para ulama ahli Ilmu Kalam masa dahulu dijadikan dasar analisa dan
pembahasan. Ilmu Kalam merupakan induk dari ilmu-ilmu agama Islam, karena ilmu
tersebut menyangkut masalah ke-Tuhan-an yang sasarannya adalah Dzat Yang Maha
Agung. Kaum Mu’tazilah yang juga dikenal dengan sebutan Ahlu Tauhid Wal ‘Adl,
para ahli ilmu Kalam, dan para ahli fikir lainnya, sumber pengetahuannya
masing-masing adalah dari pemikiran Ali r.a melalui tokoh utama kaum Mu’tazilah
yang bernama Washil bin ‘Atha’ yang dasar-dasar ilmunya berasal dari Ali
r.a. Ketika itu juga muncul Ilmu Tasawuf
Islam yang digali dari contoh-contoh kehidupan Ali dan ucapannya yang tercantum
dalam kitab ”Najhul-Balaghah”. Kitab Khutbah Nahjil Balaghah merupakan kitab
yang diciptakan oleh Ali r.a dan beliau juga sebagai pengajar ilmu Fashalah
serta melahirkan ilmu Balaghah. Kitab Nahjil Balaghah berisi kalimat yang
kata-katanya bermutu dan tidak ada orang lain yang dapat menyamai atau melebihi
Ali r.a selain Rosulullah SAW. Salah satu contoh kata-katanya adalah “Tiap
wadah bila diisi menyempit kecuali wadah imu, ia bahkan makin bertambah luas”.
Ali r.a juga sangat hebat dalam berpidato.
Tampaknya telah menjadi kehendak Allah, bahwa Ali r.a harus menjadi
perintis Ilmu Bahasa Arab. Pada masa hidupnya tidak ada seorangpun yang setaraf
dengan Ali r.a dalam hal penguasaan ilmu bahasa Arab karena ia sejak kecil
terbiasa mendengarkan dan menggunakan cara Rosulullah SAW berbicara sehari-hari,
ditambah dengan pengalamannya mengenai ilmu Al-Qur’an, sehingga Ali r.a dapat
meletakkan kaidah-kaidah pokok ilmu tata bahasa Arab atas dasar dalil-dalil
kebahasaan. Sejarah mencatat Ali r.a adalah orang pertama yang meletakkan
dasar-dasar Ilmu Nahwu. Ali r.a membagi jenis-jenis kata-kata dalam tiga
kategori secara sistematik, yaitu kata benda (isim), kata kerja (fi’il), dan
kata penghubung (harf). Ali r.a juga membagi kata benda ke dalam dua sifat
yaitu, ma’rifah (kata benda yang jelas maksudnya dalam hubungan kalimat) dan
nakiroh (kata benda yang belum jelas maksudnya dalam hubungan kalimat).
Demikian juga berkaitan dengan jenis-jenis i’rab seperti rofa’, nasob, jar, dan
jazm.
Ali r.a tidak hanya dikenal sebagai Bapak bahasa Arab, beliau juga
cakap dalam berkhutbah. Dalam hal pengunaan bahasa pun beliau dikenal sebagai
seorang ahli terkemuka. Keunggulannya dalam kecakapan bahasa dan bersastra
membuat orang menarik kesimpulan bahwa nilai perkataan Ali r.a berada dibawah
firman Allah dan tutur-kat Rosulullah SAW. Sehingga tidak sedikit orang yang
datang kepadanya untuk menimba ilmu berkhutbah dan ilmu menulis.
Ali r.a terkenal sebagai orang yang cerdas dan cepat berfikir, dan
mempunyai daya ingat yang kuat, sehingga mudah untuk mengahafal. Kata-kata
mutiara yang berisi hikmah mendalam dan berbagai perumpaan, pepatah dan
peribahasa yang sangat bagus. Dalam menghitung
dan teka-teki beliau sangat cepat memberikan jawaban pada waktu itu tanpa
berfikir.
Selain perintis ilmu tata bahasa Arab, Ali r.a terkenal juga
sebagai sumber ilmu Fiqh. Ilmu Fiqh adalah segala sesuatu yang berkaitan dengan
lima prinsip hukum pokok, yaitu : wajib, sunnah, haram, makruh, dan mubah. Fakta
mengungkapkan bahwa 4 orang Imam Fiqh atau tokoh dalam mazhab Fiqh seluruh
dunia Islam, ilmu pengetahuan Islamnya masing-masing berasal dari Ali r.a, dan
tidak diragukan lagi bahwa ilmu Fiqh yang ada di kaum Syi’ah pasti juga berasal
dari Ali r.a. Penguasaan, penafsiran dan penerapan hukum Islam oleh Ali r.a dilakukan
secara tepat dan diakui kebenarannya oleh Rosulullah SAW dengan diangkatnya Ali
r.a sebagai qadhi di Yaman. Sementara kalangan yang memandang hukum Fiqh
sebagai dogma mencela kaidah hukum qiyas
yang sering diterapkan oleh Ali berdasarkan ijtihad. Mereka mengatakan,
penerapan hukum syari’at yang berdasarkan qiyas atau ijtihad dapat
mengakibatkan fatwa yang berlainan. Padahal Allah berfirman dalam QS.Al-An’am :
38 dan QS.An-Nahl : 89,
“Tiada sesuatu apapun yang Kami alpakan didalam
Al-Qur’an”(QS.Al-An’am : 38)
“Dan Al-Qur’an Kami turunkan kepadamu (hai Muhammad) sebagai
penjelasan mengenai segala sesuatu”(QS.An-Nahl :89)
Ali r.a banyak menggunakan
qiyas sebagai kaidah ijtihad, akan tetapi hal itu sama sekali tidak
berlawanan dengan ketetapan hukum syari’at selama tetap didalam lingkaran makna
yang dikehendaki Kitabullah dan Sunnah Rasulullah SAW. Pendapat yang
mempersalahkan jalan ijtihad dan qiyas sama artinya dengan menutup pintu
perkembangan ilmu dan tidak ada hujjah untuk membenarkan pendapat.
Dalam sejarah, Ali r.a tercatat sebagai pemikir mengenai hak-hak
asasi manusia yang menyumbangkan pemikiran-pemikirannya mengenai ilmu sosial
yang banyak kaitannya dengan perkembangan masayarakat Islam pada zamannya.
Selaku amirul mu’minin, Ali r.a berupaya sekeras-kerasnya untuk menegakkan
keadilan sosial dengan segala sarana yang dimilikinya, baik yang berupa
pemikiran maupun perangkat pemerintahan dan kebijaksanaan politik yang
dijalankannya.
Ali r.a juga
merupakan tokoh puncak dari ilmu Tarikat dari kalangan para ali Tarikat, karena
ilmu Tarikat, Hakikat, dan Tasawuf bersumber pada pemikiran Ali r.a. Sebagai
putera asuhan sejak berusia 6 tahun, Ali r.a selalu berada didekat Rosulullah
SAW dan tidak pernah pisah. Sedangkan Rosul sendiri pada saat menerima Ali r.a
dalam tanggung jawabnya tengah mengalami satu proses yang luar biasa, dari segi
kemanusiaannya terutama kerohaniannya beliau sedang diproses oleh Allah SWT
untuk diangkat menjadi Nabi dan Rosul. Pada saat itulah Nabi SAW melakukan
tafakkur, perenungan dan dialog dalam fikiran Islam.
V.Penutup
1.Kesimpulan
Nama lengkapnya
Ali bin Abi Thalib. Beliau lahir pada tanggal 13 Rajab di Mekkah daerah Hijaz, Arab Saudi oleh ibunya
yang bernama Fatimah binti Asad (isteri Abu Thalib).
Sejak kecil Ali r.a dalam asuhan
Rosulullah SAW, dengan dibimbing segala macam ilmu sehingga Ali r.a mempunyai kecerdasan
yang luar biasa. Ali r.a sebagai assabiqunal-awwalun dari golongan anak-anak. Ali
r.a menjadi Khalifah ke-empat dalam Khulafaurrasyidin pada 656-661 M.
Sebagai tokoh pendidikan Islam, Ali r.a banyak merintis ilmu-ilmu
dan banyak pemikiran-pemikiran yang dimilikinya. Misal : ilmu kalam, ilmu
tafsir, tarikat, ilmu nahwu, tata bahasa Arab, ilmu fiqh, meriwayatkan hadis,
dan lain-lain.
2.Daftar Pustaka
Al Husaini, Al Hamid, Imamul
Muhtadin (Sayyidina Ali bin Abi Thalib), Jakarta; Pustaka Hidayah, 1989
Ashgher Razwi, Sayed Ali, Muhammad Rosulullah SAW (Lengkap
Kehidupan dan Perjuangan Nabi Islam Menurut Sejarawan Timur dan Barat),
Jakarta; Pustaka Zahra, 1997
Salim bin‘Iedal, Syekh Hilali, Syarah Riyadhusshalihin Jilid V,
Jakarta; Pustaka Imam As-Syafi’i, 2005
Nasution Harun, Islam di Tinjau dari Berbagai Aspeknya,
Jakarta; Universitas Indonesia, 1985
Tidak ada komentar:
Posting Komentar