Kamis, 04 Juni 2015

Metodologi Studi Islam (Metodologi Filsafat Islam)

Metodologi Filsafat Islam

Oleh :
Siti Nur Fadhilah (111-13-158)

I.Pendahuluan

            Filsafat Islam merupakan salah satu bidang studi Islam yang keberadaannya telah menimbulkan  pro dan kontra. Sebagian mereka yang berpikiran maju dan bersifat liberal cenderung mau menerima pemikiran filsafat Islam. Sedangkan mereka yang bersifat tradisional berpegang teguh pada doktrin ajaran Al-Qur’an dan Hadist secara tekstual, sehingga mereka menolak pemikiran filsafat Islam.
            Dengan mengkaji metodologi penelitian  filsafat yang dilakukan para ahli, maka kita dapat meraih kembali kejayaan Islam dibidang ilmu pengetahuan yang pernah dialami pada zaman klasik. Hal ini sangat penting untuk menghadapi tantangan zaman era globalisasi yang semakin berat.[1]

 II.Pembahasan

A.Pengertian Filsafat dan Filsafat Islam
            Filsafat
            Kata filsafat dapat diambil dari  bahasa Arab “falsafah atau falsafat”. Orang Arab sendiri mengambilnya dari bahasa Yunani “philosophia” yang merupakan kata majemuk dari philos dan sophia. Philos artinya cinta dan sophia artinya kebijaksanaan. Bijaksana berarti “pandai”, yakni mengerti dengan mendalam. Dengan demikian, dari segi bahasa dapat diambil pengertian bahwa filsafat berarti ingin mengerti dengan mendalam, atau cinta kepada kebijaksanaan.
            Dalam bahasa Arab dikenal kata “hikmah dan hakim”, kata ini bisa diterjemahkan dengan arti “filsafat dan filosof”. Kata “Hukamaul Islam” bisa diartikan dengan “Falasifatul Islam”. Hikmah adalah perkara  tertinggi yang bisa dicapai oleh manusia dengan melalui alat-alat tertentu, yaitu akal dan metode-metode berfikirnya. Dalam Al-Qur’an surat Al-Baqarah ayat 269 dinyatakan :
يُؤْتِى الْحِكْمَةَ مَنْ يَشَاءُ وَمَنْ يُؤْتَى الْحِكْمَةَ فَقدْأُوْتِيَ خَيْرًااكَثِيْرًا.(البقرة : 269)
Artinya : “Tuhan memberikan hikmah kepada orang yang dikehendaki-Nya, dan siapa yanng diberi hikmah, maka ia telah diberi kebaikan yang banyak sekali”.(QS.Al-Baqarah : 269)
            Ditinjau dari segi terminologi, filsafat mempunyai pengertian yang bermacam-macam, tetapi memiliki intisari yang relatif sama. Menurut Harun Nasution filsafat itu : (1) pengetahuan tentang hikmah, (2) pengetahuan tentang prinsip atau dasar-dasar, (3) mencari kebenaran, (4) membahas dasar-dasar dari apa yang dibahas, dan lain-lain. Jadi, dapat dikatakan bahwa intisari filsafat adalah berfikir menurut tata tertib (logika) dengan bebas (tidak terikat pada tradisi, dogma, dan lain-lain) dan dengan sedalam-dalamnya sehingga sampai kedasar-dasar persoalan. Menurut Endang Saifudin Anshari, filsafat itu adalah hasl usaha manusia dengan kekuatan akal budinya untuk memahami (menyelami dan mendalami) secara radikal, integral, dan universal mengenai hakekat Tuhan, alam, dan manusia, serta sikap manusia termasuk sebagai konsekuensi dari pemahaman tersebut.
Sehingga dapat kita simpulkan bahwa, filsafat itu sebagai aktifitas pikir murni (kegiatan akal manusia dalam usaha untuk mengerti secara mendalam segala sesuatu), dan sebagai produk kegiatan berfikir.
            Adapun cabang-cabang filsafat, meliputi : Pertama, metafisika/ontologi (tentang hakekat yang ada dibalik fisika, tentang hakekat yang transenden, diatas atau diluar kemampuan manusia. Kedua, logika (tentang pikiran yang benar dan salah). Ketiga, etika (tentang tingkah laku yang baik dan buruk. Keempat, estetika (tentang karya yang indah dan jelek). Kelima, epistimologi (tentang ilmu pengetahuan). Keenam, filsafat khusus (alam, manusia, agama, dan lain-lain).[2]
            Filsafat Islam
Pengertian filsafat islam merupakan gabungan dari filsafat dan Islam, yaitu suatu ilmu yang didalamnya terdapat ajaran islam dalam membahas hakikat kebenaran segala sesuatu.
Menurut Mustofa Abdul Razak, filsafat Islam adalah filsafat yang tumbuh di negri Islam dan dibawah naungan negeri Islam, tanpa memandang agama dan bahasa-bahasa pemiliknya. Pengertian ini diperkuat oleh Prof. Tara Chana, bahwa orang-orang Nasrani dan Yahudi yang telah menulis kitab-kitab filsafat yang bersifat kritis atau terpengaruh oleh islam yang sebaiknya dimasukkan ke dalam filsafat islam.[3]
 Menurut Dr. Ahmad Fuad Al-Ahwani, filsafat Islam adalah pembahasan meliputi berbagai soal alam semesta dan bermacam masalah manusia atas dasar ajaran-ajaran keagamaan yang turun bersama lahirnya agama Islam.[4]

B.Ajaran Islam Mendorong Berfilsafat
            Agama Islam memberi penghargaan yang tinggi terhadap akal, tidak sedikit ayat-ayat Al-Qur’an yang menganjurkan dan mendorong manusia supaya banyak berpikir dan menggunakan akalnya. Disamping itu anjuran dan dorongan untuk berfilsafat dapat difahami dari pengertian kata ayat itu sendiri.  Kata ayat itu erat kaitannya dengan perbuatan berfikir. Arti asal dari kata ayat adalah tanda, dan tanda itu menunjukkan sesuatu yang terletak dibelakangnya. Tanda harus diperhatikan, difikirkan, diteliti, dan direnungkan. Seperti firman Allah dalam QS.Al-Baqarah : 164,
اِنَّ فِى خَلْقِ السَّمَوَاتِ وَلْاَرْضَ وَاخْتِلَافِ اَّلَيْلِ وَالنَّهَاَرِوَالْفُلْكِ اَّلتِى تَجْرِى فِى اْلبَحْرِ بِمَا يَنْفَعُ النَّاسَ وَمَا َانْزَلَ اللهُ مِنَ السَّمَاءِ مِن مَاءٍ فَأَحْيَا بِهِ لْاَرْضَ بَعْدَ مَوْتِهَا وَبَثَّ فِيْهَا مِنْ كُلِّ دَابَّةٍ وَتَصْرِيْفِ الرَّيَاحِ وَالسَّحَا بِ الْمُسَخَّرِيْنَ السَّمَاءِوَالْاَرْضِ لَاَيَتٍ لَّقَوْمٍ يَعْقِلُوْنِ.(البقره :  164)
“Sesungguhnya dalam penciptaan langit dan bumi, perubahan malam menjadi siang, kapal-kapal yang berlayar dilaut membawa apa yang bermanfaat bagi manusia, air yang diturunkan Allah dari langit kemudian Ia hidupkan dengannya bumi setelah ia gersang dan Ia tebarkan padanya segala macam binatang, perkisaran angin dan awan yang terletak tunduk diantara langit dan bumi, pada semua ini terdapat tanda-tanda bagi kaum yang mempergunakan akal.”[5]
C.Perbedaan Filsafat dengan Ilmu Lain
   1.Filsafat Islam dan Ilmu Kalam
            Filsafat adalah pemikiran dan pembahasan mengenai alam wujud dan manusia, sedangkan ilmu kalam ialah rangkaian argumentasi rasional yang disusun secara sistematik untuk memperkokoh kebenaran akidah agama Islam.
Setelah abad ke-6 H, terjadi pencampur adukan antara filsafat dan ilmu kalam, sehingga ilmu kalam memasukkan filsafat ke dalam ilmu tauhid (pembahasan problema ilmu kalam dengan menekankan pengunaan semantik (logika) Aristoteles sebagai metode.
Pada abad ke-19, filsafat muncul di kalangan para ahli fikir dan tokoh-tokoh agama Islam. Yang menonjol adalah Jamaluddin Al-Afghani, Imam Syekh Muhammad ‘Abduh, Mustafa ‘Abdurrozaq dan para muridnya. Dengan demikian filsafat islam mulai berpisah dengan ilmu kalam.
Pendapat Ibnu Khaldun : “Para ahli ilmu kalam dalam berusaha membuktikan ekstensi Tuhan dan sifat-sifatNya memakai berbagai dalil berdasarkan pada alam wujud. Pandangan seorang filosof mengenai ketuhanan, alam wujud sebagai  hal yang mutlak dan merupakan keharusan yang ada pada dzat-Nya, sedangkan seorang ahli ilmu kalam memandang alam wujud sebagai bukti tentang adanya zat yang mengadakannya. Pada pokoknya yang menjadi masalah persoalan para ahli ilmu kalam hanyalah masalah akidah dan keimanan yang telah dibenarkan oleh syari’at dan dapat dibuktikan kebenarannya dengan dalil aqli.”
  2.Filsafat dan Tasawuf     
            Filsafat memandang sesuatu dengan akal fikiran dan melalui jalan pembuktian menurut logika. Sedangkan tasawuf memandang sesuatu melalui jalan mujahaddah (melatih kekuatan rohani dengan membiasakan penderitaan jasmani) dan musyahaddah (penglihatan batin) serta mengutamakan tanggap rasa.
            Pandangan filsafat dalam mengenal Allah termasuk metafisik (masalah diluar alam nyata), dan mengenai manusia mencakup pembahasan tentang perilaku (moral dan politik).
Problema tasawuf pada dasarnya adalah cara mengenali Allah, baik dengan jalan melakukan ibadah menurut syri’at ataupun dengan jalan ilham dan tanggap rasa.[6]
D.Pembuktian  Adanya Tuhan
            a.Pembuktian Al-Kindi
              Al-Kindi berendapat bahwa alam itu temporal dan berkomposisi, yang karenanya ia membutuhkan pencipta yang menciptakannya, yaitu Yang Esa dan yang Hak adalah yang pertama yang menahan segala yang diciptakan, sehingga sesuatu yang tidak mendapat pertahanan dan kekuatan-Nya pasti akan hancur.
            b.Pembuktian Ibn Rusyd
               Menurut pendapatnya, tatanan alam dibuktikan melalui harmoni yang bisa dilihat pada bagian-bagiannya dan pada benda-benda yang ada didalamnya.
Dalam dalil Ikhtira’, bahwa ciptaan ada yang menciptakan dan gerak pasti ada yang menggerakan, yang dimaksud adalah Allah SWT.
c.Pembuktian Al-Farabi dan Ibnu Sina
  Menurutnya, tidah membutuhkan pembuktian yang panjang untuk menetapkan ekstensi Allah, dan kita cukup mengetahui Zat-Nya untuk menerima ekstensi-Nya sekaligus.[7]
E. Model – model Penelitian Filsafat Islam
            1. Model M. Amin Abdullah
                Hasil penelitiannya dituangkan dalam buku berjudul  The Idea of Universality Ethical Norm In Ghazali and Kant, dimana penelitiannya menggunakan metode kepustakaan  yang bercorak deskriptif, yaitu penelitian yang mengambil bahan-bahan kajiannya pada berbagai sumber baik yang ditulis oleh tokoh yang diteliti itu sendiri maupun sumber yang ditulis orang lain mengenai tokoh yang ditelitinya. Bahan-bahan tersebut selanjutnya  diteliti keotentikannya secara seksama, diklasifikasikan menurut variabel yang ingin ditelitinya. Dari segi pendekatan, ia mengambil pendekatan studi tokoh dengan cara melakukan studi komparasi antara kedua tokoh tersebut (Al-Ghazali dan Immanuel Kant), khususnya dalam bidang etika.
            2.Model Otto Horrassowitz, Majid Fakhry, dan Harun Nasution
               Dalam bukunya yang berjudul History of Muslim Philosophy, Otto Horrassowitz telah melakukan penelitian terhadap seluruh pemikiran filsafat Islam yang berasal dari tokoh-tokoh filosof abad klasik, selain itu ia juga mengemukakan mengenai riwayat hidup serta karya tulis masing-masing tokoh. Dengan demikian jelas terlihat bahwa penelitiannya termasuk penelitian kualitatif. Sumbernya kajian pustaka. Metodenya deskriptif analitis dengan pendekatan historis dan tokoh (yang disajikan berdasar dat-data yang ditulis ulama terdahulu, dan titik kajiannya adalah tokoh).
               Penelitian Majid Fakhry dalam bukunya yang berjudul A History of Islamic Philosophy, tampaknya menggunakan penelitian campuran yang mana selain menggunakan pendekatan historis (latar belakang munculnya pemikiran filsafat Islam) juga dengan pendekatan kawasan (mengelompokkan para filosof Islam dalam kelompok Timur dan Barat) serta substansi (mengemukakan berbagai pemikiran filsafat dari tokoh tersebut).
               Penelitian Harun Nasution bersifat kualitatif, dengan melakukan penelitian filsafat dengan menggunakan pendekatan tokoh dan historis. Bentuk penelitiannya deskriptif dengan menggunakan bahan-bahan bacaan yang ditulis tokoh yang bersangkutan.
            3.Model Ahmad Fuad Al-Ahwani
               Salah satu karyanya adalah buku yang berjudul Filsafat Islam. Metode penelitian yang ditempuh adalah penelitian kepustakaan (menggunakan bahan-bahan kepustakaan). Sifat dan coraknya adalah penelitian deskriptif kualitatif, sedangkan pendekatannya bersifat campuran (historis, kawasan, dan tokoh).[8]
F.Tokoh-tokoh Filsafat Islam
            1.Al-Kindi (185-152 H/801-865 M)
              Al-Kindi, nama lengkapnya adalah Abdul Yusuf Ya’qub bin Ishaq bin Ash-Shabah bin Imran bin Ismail bin Muhammad bin Al-Asy’at bin Qeis al-Kindi. Beliau berasal dari kabilah Kindah (kabilah terpandang dimasyarakat Arab dan bermukim didaerah Yaman dan Hijaz).
            Al-Kindi mempelajari berbagai cabang ilmu keagamaan. Ia turut menyumbangkan  pemikirannya seacara efektif dalam memasukkan filsafat ke dalam khazanah pengetahuan Islam. Ia menerjemahkan beberapa buku filsafat Suryani, seperti theologia yang diterjemahkan oleh Ibn Na’imah al-Himshi. Corak filsafat Al-Kindi tidak banyak diketahui karena buku-bukunya tentang filsafat banyak yang hilang. Baru pada zaman belakangan orang menemukan kurang lebih 20 risalah Al-Kindi dalam tulisan tangan Mereka yang berminat besar dalam menelaah fisafat Islam, baik kaum orientalis maupun orang-orang Arab, telah menerbitkan risalah-risalah tersebut. Dengan demikian orang mudah menemukan kejelasan mengenai filsafat Al-Kindi dan kedudukannya. Al-Kindi adalah orang pertama yang merintis jalan menyesuaikan filsafat Yunani dengan prinsip-prinsip ajaran Islam sehingga lahirlah filsafat Islam. Sehingga Al-Kindi menjadi seorang filosof peradaban Islam pada abad ke-3 H.
            2.Al-Farabi
              Al-Kindi telah meletakkan dasar-dasar filsafat Islam, kemudian datanglah dizaman berikutnya Abu Nasr al-Farabi dan memperkokoh dan memantapkan dasar-dasar yang telah diletakkan oleh Al-Kindi. Beliau dapat memecahkan masalah dengan jalan menyesuaikan yang satu dengan yang yang lainnya, misal antara aliran filsafat Aristoteles dengan filsafat Plotinus, hal itu terdapat dalam buku al-Farabi dengan judul al-Jama’ Baina Ra’y al-Hakimain.
            3.Ibnu Sina
              Filsafat Islam mencapai puncak kecemerlangannya pada zaman hidupnya Syaikh ar-Rais Abu Ali al-Husein bin Abdullah Ibn Sina. Dialah filosof Islam yang paling banyak menulis buku-buku ilmiah sampai soal-soal yang bersifat cabang dan ranting. Ibnu Sina menulis filsafatnya mengikuti pendapat Aristoteles. Filsafatnya itu dipaparkan dalam buku as-Syifa, kemudian diringkas  dalam bukunya an-Najat. Dalam as-Syifa dikatakan bahwa, “tujuan filsafat adalah mencari hakekat segala sesuatu sebatas kemungkinan yang dapat dilakukan oeh manusia.”
            4.Ibnu Bajah
              Nama lengkapnya adalah Abu Bakar Muhammad bin Yahya Ibn Bajah, beliau lahir dalam abad ke-5 H dan wafat pada tahun 533 H/1138 M. Selama hidupnya Ibn Bajah mendalami ilmu alam,, ilmu matematika, ilmu astronomi dan musik. Ia banyak menulis uraian penjelasan tentang filsafat Aristoteles, dengan demikian ia membuka pintu bagi Ibnu Rusyd. Ibnu Rusyd banyak mengambil intisari pemikiran Ibnu Bajah bahkan dalam batas-batas tertentu ia terpengaruh olehnya.
Ibnu Bajah memang mengikuti filsafat Yunani, terutama pendapat Pyhitagoras yang menggolongkan manusia menjadi dua yaitu kaum awam (dapat menjangkau gambaran yang masuk akal lewat penglihatannya kepada alam nyata, atau dari ketergantungannya kepada alam wujud), dan kaum khawas (berhubungan dengan soal-soal yang masuk akal lebih dulu, barulah kemudian berhubungan alam nyata). 
            5.Ibnu Thufail
              Nama lengkapnya Abu Bakar Muhammad bin Abdul Malik bin Muhammad bin Thufail, berasal dari Cordova.
Ibnu Thufail menyusun risalah dalam bentuk hikayat yang dalam mukadimahnya Ibnu Thufail menjelaskan tujuan buku yang ditulisnya yaitu menyaksikan kebenaran menurut cara yang ditempuh para ahli tasawuf yang mencapai kewalian. Dalam mukadimahnya beliau menegaskan pendapatnya sesuai dengan filsafat al-Farabi, Ibnu Sina, al-Ghazali dan Ibnu Bajah.
            6.Ibnu Rusyd
              Nama lengkapnya Abul Wahid Muhammad bin Ahmad bin Rusyd yang lahir di Cordova. Beliau belajar ilmu fiqh, ilmu pasti dan ilmu kedokteran.
Pemikiran filsafatnya dapat diketahui dengan jelas dari bukunya yang sangat terkenal, Tahafutut-Tahafut yang ditulis sebagai sanggahan terhadap buku al-Ghazali yang berjudul Tahafutul-Falasifah.[9]

III.Penutup
Kesimpulan
            Dari materi diatas dapat kita simpulkan bahwa, filsafat Islam merupakan gabungan  anatara dua kata yaitu filsafat dan Islam. Filsafat berasal dari kata philo yang berarti cinta dan sophos yang berarati hikmah, sedangkan Islam berasal dari bahasa Arab “salima” yang berarti selamat. Banyak para ilmuwan yang mengemukakan pendapatnya mengenai pengertian filsafat Islam, salah satunya Pendapat Ahmad Fuad Al-Ahwani yang mengatakan bahwa filsafat Islam adalah pembahsan meliputi berbagai soal alam semesta dan bermacam-macam maslah manusia atas dasar ajaran-ajaran keagamaan yang turun bersama lahirnya agama Islam.
            Filsafat Islam diteliti oleh para ahli dengan menggunakan berbagai metode dan pendekatan secara seksama, dan hasilnya dapat kita jumpai saat ini.

Daftar Pustaka
Nata Abuddin, Metodologi Studi Islam, (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2010), cet.17
Ahwani, Al, Ahmad Fu’ad, Filsafat Islam, (Jakarta: Pustaka Firdaus, 1995), cet.7
Muhaimin, dkk, Kawasan dan Wawasan Studi Islam, (Jakarta: Prenada Media, 2005), cet.1
Madkour Ibrahim, Aliran dan Teori Filsafat Islam, (Jakarta: Bumi Aksara, 1995), cet. 1
http://zekyaneukpidie.blogspot.com/2012/12/makalah-filsafat-islam.html














[1] Abuddin Nata, Metode Studi Islam, Cet.17. (Jakarta; PT.Grafindo Persada, 2010), hlm. 251-253.
[2] Muhaimin dkk, Kawasan dan Wawasan Studi Islam, Cet.1. (Jakarta; Prenada Media, 2005), hlm.303-305.
[3] http://zekyaneukpidie.blogspot.com/2012/12/makalah-filsafat-islam.html
[4]Abuddin Nata, Metodologi Studi Islam, Cet.17. (Jakarta; PT Raja Grafindo Persada, 2010), hlm.256.
[5] Muhaimin dkk, Kawasan dan Wawasan Studi Islam, Cet.1. (Jakarta; Prenada Media, 2005), hlm. 305-307.
[6] Ahmad Fuad Al-Ahwani, Filsafat Islam, Cet.7. (Jakarta; Pustaka Firdaus, 1995), hlm. 16-29.
[7] Ibrahim Madkour, Aliran dan Teori Filsafat Islam, Cet.1. (Jakarta; Bumi Aksara, 1995), hlm. 118-121.
[8] Abuddin Nata, Metodologi Studi Islam, Cet.17. (Jakarta; PT Raja Grafindo Persada, 2010), hlm 257-263.
[9]Ahmad Fuad Al-Ahwani, Filsafat Islam, Cet.7. (Jakarta; Pustaka Firdaus, 1995), hlm 64-113. 

FIQH (Ji'alah)

Pendidikan Ilmu Fiqh “Ji’alah”
Oleh : 
Siti Nur Fadhilah (111-13-158)

I. Pendahuluan
            Dalam dunia Islam perlu kita memahami ilmu-ilmu fiqh, karena dengan ilmu tersebut kita dapat mengaplikasikannya untuk kehidupan sehari-hari. Seperti yang akan kita bahas dalam makalah ini mengenai ji’alah yang mana membahas tentang upah ataupun bayaran yang menjadi imbalan seseorang atas usahanya atau pekerjaannya.
            Dapat kita ketahui bahwa ji’alah itu sejenis akad untuk suatu  manfaat materi yang diduga kuat dapat diperoleh, misal : orang yang diji’alahkan untuk suatu pekerjaan, dapat mengembalikan barang yang hilang, atau ternaknya menghilang, atau pemuatan dinding, atau menggali sumur sampai ada airnya, atau diminta menyembuhkan orang sakit sampai sembuh.
II. Pengertian Ji’alah
            Ji’alah adalah sejenis akad untuk suatu manfaat materi yang diduga kuat dapat diperoleh, misal : orang yang diji’alahkan untuk suatu pekerjaan, dapat mengembalikan barang yang hilang, atau ternaknya menghilang, atau pemuatan dinding, atau menggali sumur sampai ada airnya, atau diminta menyembuhkan orang sakit sampai sembuh, ataupun menang dalam suatu kompetisi.[1]
            Menurut terminologi, “ji’alah” adalah keharusan melakukan sesuatu secara mutlak sebagai bayaran tertentu atas suatu pekerjaan tertentu atau sesuatu yang belum diketahui dengan sesuatu yang sudah pasti atau lainnya.
            Sebagian ulama’ mendefinisikan  dengan “kewajiban membayar upah tertentu atas pekerjaan yang berat walaupun bayarannya belum pasti.[2]
III. Landasan Hukum
            Sebagai dasar landasan hukumnya adalah firman Allah dalam QS.Yusuf : 72 yang berbunyi :
                                                                                                            وَلِمَنْ جَاءَحِمْلُ بَعِيْرٌوَأَنَا بِهِ زَعِيْمٌ 
Artinya : “Dan siapa yang dapat mengembalikannya akan memperoleh bahan makanan (seberat) beban unta, dan aku menjamin terhadapnya.”
            Selain itu, Rosulullah juga membolehkan pengambilan upah atas pengobatan dengan menggunakan bacaan Al-Qur’an yaitu dengan surat Al-Fatihah.
            Ji’alah diperbolehkan lantaran diperlukan, maka dari itu dalam ji’alah diperbolehkan apa-apa yang tidak diperbolehkan untuk yang lainnya. Dalam ji’alah dibolehkan materinya tidak diketahui, dan tidak disyaratkan hadirnya dua belah pihak yang berakad seperti yang disyaratkan pada akad-akad lain.
            Dalam kaitan ji’alah, sebagian ulama ada yang melarangnya (Ibnu Hazm), dalam kitab Al-Mahalli ia mengatakan : “Tidak diperbolehkan menji’alahkan seseorang, siapa yang berkata kepada orang lain : Jika kau dapat mengembalikan kepadaku, budakku yang melarikan diri, maka aku berkewajiban membayarmu sekian dinar. Atau berkata : Jika kau melakukan ini dan ini, kau akan kuberikan kepadamu sekian dirham.
Bagi kaum yang mewajibkan ji’al dan mereka menentukan wajibnya orang yang memenuhi janjinya. Mereka berdalil dalam firman Allah dalam QS. Al-Maidah :1 yang berbunyi :
                                                                                                            ياأَيهاالّذين امنواأوفوابالعقود........
Artinya : “Hai orang-orang yang beriman, penuhilah janjimu....”
IV. Rukun Ji’alah
      Menurut sebagian ulama, rukun ji’alah ada lima, yaitu :
a.       Pemberi ji’alah, ada dua syarat :
1. Memiliki kebebasan berbuat dengan syarat semua tindakannya sah dengan apa yang dilakukannya sebagai upah baik ia sebagai pemilik atau bukan, termasuk didalamnya wali dan tidak termasuk anak kecil, orang gila dan idiot.
2. Mempunyai pilihan, jika terpaksa, maka akad tidak sah.
b.      Pekerja, dengan syarat :
1. Mempunyai izin untuk bekerja dari orang yang punya harta
2. Hendaklah si pekerja yang memang ahli dengan pekerjaan itu jika memang dijelaskan bentuknya
3. Si pekerja  tidak berhak mendapatkan upah kecuali jika sudah selesai bekerja
c.       Upah, syaratnya :
1.      Berupa harta yang memang menjadi maksud untuk dimiliki, terhormat atau hak khusus, dan jika bukan yang menjadi tujuan dari memiliki
2.      Harus diketahui, sebab dia adalah bayaran, maka harus ada pengetahuan tentangnya, seperti upah dalam sewa
d.      Pekerjaan
1.      Pekerjaan yang ditawarkan memiliki tingkat kesusahan, maka tidak ada upah bagi pekerjaan yang tidak ada beban
2.      Pekerjaan yang ditawarkan kepadanya bukan suatu pekerjaan yang wajib bagi si pekerja secara syar’i, jika ia wajib secara syar’i lalu dia mengembalikannya, maka dia tidak berhak mendapat upah
3.      Hendaklah si pekerja menyerahkan barang yang akan dikembalikan kepada pemiliknya, jika belum diserahkan, maka tidak ada ganti
e.       Shighat (ucapan)
Ucapan datang dari pemberi ji’alah, sedangkan pekerja tidak disyaratkan ada ucapan dan ada qabul darinya dengan ucapan walaupun barangnya sudah jelas, sebab yang dinilai adalah pekerjaannya dengan akad perwakilan. Akad ji’alah merupakan akad saling memberi dan penetapan syarat ucapan, berarti tidak ada penentuan waktu, sebab penentuan waktu bisa merusak tujuan akad ja’alah.[3]
V. Sebab-sebab Gugurnya Akad Ji’alah
            Dari segi wajib dan bolehnya, akad bisa dibagi menjadi tiga bagian :
1.      Wajib bagi kedua belah pihak yang berakad secara pasti, seperti akad jual beli.
2.      Wajib bagi salah satu pihak dan bagi pihak yang lain secara pasti seperti akad gadai, hibah.
3.      Boleh dari kedua belah pihak seperti akad syirkah. Boleh bagi siapa saja dari kedua belah pihak membatalkan akad sebelum ia pekerjaan selesai.
Akad ja’alah bisa berakhir dengan fasakh dari salah satu pihak yang berakad seperti meninggal, gila, pingsan. Jika pemilik harta meninggal setelah pekerjaan dimulai lalu dia mengembalikannya kepada ahli warisnya, maka dia berhak mendapat upah kerja selama pemilik harta masih hidup. Jika si pekerja meninggal kemudian diserahkan ahli warisnya, maka mereka berhak mendapatkan upah yang sudah disepakati. Jika si pekerja membatalkan akad sebelum dia memulai pekerjaan atau setelah dimulai, maka tidak ada upah baginya. Jika si pemilik harta membatalkan akad setelah pekerjaan dimulai, maka dia berhak mendapat upah standar harian karena usahanya karena bolehnya dia memberikan akad, maka ia mempunyai kuasa atau si pekerja dan bisa membatalkan akad, makaupah yang disepakati tidak wajib.
            Bagi si pemilik harta boleh menambahkan atau mengurangi ja’alah yang sudah disepakati sebelum pekerjaan selesai baik sebelum pekerjaan dimulai atau setelahnya.[4]
VI. Penutup
            1.Kesimpulan
                        Dari materi diatas, dapat kirta simpulkan bahwa yang dimaksud ji’alah adalah keharusan melakukan sesuatu secara mutlak sebagai bayaran tertentu atas satu pekerjaan tertentu atau sesuatu yang belum diketahui dengan sesuatu yang sudah pasti atau lainnya.
Dalam ji’alah terdapat beberapa rukun yang didalamnya masing-masing terdapat syarat-syarat, diantaranya : pemberi ji’alah, pekerja, pekerjaan, upah, dan sighat.
                        Ji’alah adalah jenis akad jaiz, yang kedua belah pihak boleh memfasakhnya. Adalah menjadi haknya jika si pemegang ji’alah untuk memfasakh, sebelum menyukseskan pekerjaan, dan ia pun berhak untuk membatalkan sesudah itu, jika ia merelakan hanya gugur.
            2.Daftar pustaka
Sabiq, Sayid, Fiqh Sunnah, (Jakarta; PT.Al-Ma’arif, 1987), cet.1
Muhammad Azam, Abdul Aziz, Fiqih Mu’amalah Sistem Transakasi dalam Fiqih Islam, (Jakarta; Amzah, 2010), cet.1
                                                                                                                        







[1] Sayyid Sabiq, Fiqh Sunnah, Cet. 1. (Jakarta; PT Al-Ma’arif, 1987), hlm. 190.
[2] Abdul Aziz Muhammad Azam, Fiqh Mu’amalah Sistem Transaksi dalam Fiqih Islam, Cet. 1. (Jakarta; Amzah, 2010), hlm. 331.
[3] Abdul Aziz Muhammad Azzam, Fiqih Mu’amalah Sistem Transaksi dalam Fiqih Islam, hlm. 333-338.
[4] Ibid, hlm. 341-345