Kamis, 04 Juni 2015

FIQH (Ji'alah)

Pendidikan Ilmu Fiqh “Ji’alah”
Oleh : 
Siti Nur Fadhilah (111-13-158)

I. Pendahuluan
            Dalam dunia Islam perlu kita memahami ilmu-ilmu fiqh, karena dengan ilmu tersebut kita dapat mengaplikasikannya untuk kehidupan sehari-hari. Seperti yang akan kita bahas dalam makalah ini mengenai ji’alah yang mana membahas tentang upah ataupun bayaran yang menjadi imbalan seseorang atas usahanya atau pekerjaannya.
            Dapat kita ketahui bahwa ji’alah itu sejenis akad untuk suatu  manfaat materi yang diduga kuat dapat diperoleh, misal : orang yang diji’alahkan untuk suatu pekerjaan, dapat mengembalikan barang yang hilang, atau ternaknya menghilang, atau pemuatan dinding, atau menggali sumur sampai ada airnya, atau diminta menyembuhkan orang sakit sampai sembuh.
II. Pengertian Ji’alah
            Ji’alah adalah sejenis akad untuk suatu manfaat materi yang diduga kuat dapat diperoleh, misal : orang yang diji’alahkan untuk suatu pekerjaan, dapat mengembalikan barang yang hilang, atau ternaknya menghilang, atau pemuatan dinding, atau menggali sumur sampai ada airnya, atau diminta menyembuhkan orang sakit sampai sembuh, ataupun menang dalam suatu kompetisi.[1]
            Menurut terminologi, “ji’alah” adalah keharusan melakukan sesuatu secara mutlak sebagai bayaran tertentu atas suatu pekerjaan tertentu atau sesuatu yang belum diketahui dengan sesuatu yang sudah pasti atau lainnya.
            Sebagian ulama’ mendefinisikan  dengan “kewajiban membayar upah tertentu atas pekerjaan yang berat walaupun bayarannya belum pasti.[2]
III. Landasan Hukum
            Sebagai dasar landasan hukumnya adalah firman Allah dalam QS.Yusuf : 72 yang berbunyi :
                                                                                                            وَلِمَنْ جَاءَحِمْلُ بَعِيْرٌوَأَنَا بِهِ زَعِيْمٌ 
Artinya : “Dan siapa yang dapat mengembalikannya akan memperoleh bahan makanan (seberat) beban unta, dan aku menjamin terhadapnya.”
            Selain itu, Rosulullah juga membolehkan pengambilan upah atas pengobatan dengan menggunakan bacaan Al-Qur’an yaitu dengan surat Al-Fatihah.
            Ji’alah diperbolehkan lantaran diperlukan, maka dari itu dalam ji’alah diperbolehkan apa-apa yang tidak diperbolehkan untuk yang lainnya. Dalam ji’alah dibolehkan materinya tidak diketahui, dan tidak disyaratkan hadirnya dua belah pihak yang berakad seperti yang disyaratkan pada akad-akad lain.
            Dalam kaitan ji’alah, sebagian ulama ada yang melarangnya (Ibnu Hazm), dalam kitab Al-Mahalli ia mengatakan : “Tidak diperbolehkan menji’alahkan seseorang, siapa yang berkata kepada orang lain : Jika kau dapat mengembalikan kepadaku, budakku yang melarikan diri, maka aku berkewajiban membayarmu sekian dinar. Atau berkata : Jika kau melakukan ini dan ini, kau akan kuberikan kepadamu sekian dirham.
Bagi kaum yang mewajibkan ji’al dan mereka menentukan wajibnya orang yang memenuhi janjinya. Mereka berdalil dalam firman Allah dalam QS. Al-Maidah :1 yang berbunyi :
                                                                                                            ياأَيهاالّذين امنواأوفوابالعقود........
Artinya : “Hai orang-orang yang beriman, penuhilah janjimu....”
IV. Rukun Ji’alah
      Menurut sebagian ulama, rukun ji’alah ada lima, yaitu :
a.       Pemberi ji’alah, ada dua syarat :
1. Memiliki kebebasan berbuat dengan syarat semua tindakannya sah dengan apa yang dilakukannya sebagai upah baik ia sebagai pemilik atau bukan, termasuk didalamnya wali dan tidak termasuk anak kecil, orang gila dan idiot.
2. Mempunyai pilihan, jika terpaksa, maka akad tidak sah.
b.      Pekerja, dengan syarat :
1. Mempunyai izin untuk bekerja dari orang yang punya harta
2. Hendaklah si pekerja yang memang ahli dengan pekerjaan itu jika memang dijelaskan bentuknya
3. Si pekerja  tidak berhak mendapatkan upah kecuali jika sudah selesai bekerja
c.       Upah, syaratnya :
1.      Berupa harta yang memang menjadi maksud untuk dimiliki, terhormat atau hak khusus, dan jika bukan yang menjadi tujuan dari memiliki
2.      Harus diketahui, sebab dia adalah bayaran, maka harus ada pengetahuan tentangnya, seperti upah dalam sewa
d.      Pekerjaan
1.      Pekerjaan yang ditawarkan memiliki tingkat kesusahan, maka tidak ada upah bagi pekerjaan yang tidak ada beban
2.      Pekerjaan yang ditawarkan kepadanya bukan suatu pekerjaan yang wajib bagi si pekerja secara syar’i, jika ia wajib secara syar’i lalu dia mengembalikannya, maka dia tidak berhak mendapat upah
3.      Hendaklah si pekerja menyerahkan barang yang akan dikembalikan kepada pemiliknya, jika belum diserahkan, maka tidak ada ganti
e.       Shighat (ucapan)
Ucapan datang dari pemberi ji’alah, sedangkan pekerja tidak disyaratkan ada ucapan dan ada qabul darinya dengan ucapan walaupun barangnya sudah jelas, sebab yang dinilai adalah pekerjaannya dengan akad perwakilan. Akad ji’alah merupakan akad saling memberi dan penetapan syarat ucapan, berarti tidak ada penentuan waktu, sebab penentuan waktu bisa merusak tujuan akad ja’alah.[3]
V. Sebab-sebab Gugurnya Akad Ji’alah
            Dari segi wajib dan bolehnya, akad bisa dibagi menjadi tiga bagian :
1.      Wajib bagi kedua belah pihak yang berakad secara pasti, seperti akad jual beli.
2.      Wajib bagi salah satu pihak dan bagi pihak yang lain secara pasti seperti akad gadai, hibah.
3.      Boleh dari kedua belah pihak seperti akad syirkah. Boleh bagi siapa saja dari kedua belah pihak membatalkan akad sebelum ia pekerjaan selesai.
Akad ja’alah bisa berakhir dengan fasakh dari salah satu pihak yang berakad seperti meninggal, gila, pingsan. Jika pemilik harta meninggal setelah pekerjaan dimulai lalu dia mengembalikannya kepada ahli warisnya, maka dia berhak mendapat upah kerja selama pemilik harta masih hidup. Jika si pekerja meninggal kemudian diserahkan ahli warisnya, maka mereka berhak mendapatkan upah yang sudah disepakati. Jika si pekerja membatalkan akad sebelum dia memulai pekerjaan atau setelah dimulai, maka tidak ada upah baginya. Jika si pemilik harta membatalkan akad setelah pekerjaan dimulai, maka dia berhak mendapat upah standar harian karena usahanya karena bolehnya dia memberikan akad, maka ia mempunyai kuasa atau si pekerja dan bisa membatalkan akad, makaupah yang disepakati tidak wajib.
            Bagi si pemilik harta boleh menambahkan atau mengurangi ja’alah yang sudah disepakati sebelum pekerjaan selesai baik sebelum pekerjaan dimulai atau setelahnya.[4]
VI. Penutup
            1.Kesimpulan
                        Dari materi diatas, dapat kirta simpulkan bahwa yang dimaksud ji’alah adalah keharusan melakukan sesuatu secara mutlak sebagai bayaran tertentu atas satu pekerjaan tertentu atau sesuatu yang belum diketahui dengan sesuatu yang sudah pasti atau lainnya.
Dalam ji’alah terdapat beberapa rukun yang didalamnya masing-masing terdapat syarat-syarat, diantaranya : pemberi ji’alah, pekerja, pekerjaan, upah, dan sighat.
                        Ji’alah adalah jenis akad jaiz, yang kedua belah pihak boleh memfasakhnya. Adalah menjadi haknya jika si pemegang ji’alah untuk memfasakh, sebelum menyukseskan pekerjaan, dan ia pun berhak untuk membatalkan sesudah itu, jika ia merelakan hanya gugur.
            2.Daftar pustaka
Sabiq, Sayid, Fiqh Sunnah, (Jakarta; PT.Al-Ma’arif, 1987), cet.1
Muhammad Azam, Abdul Aziz, Fiqih Mu’amalah Sistem Transakasi dalam Fiqih Islam, (Jakarta; Amzah, 2010), cet.1
                                                                                                                        







[1] Sayyid Sabiq, Fiqh Sunnah, Cet. 1. (Jakarta; PT Al-Ma’arif, 1987), hlm. 190.
[2] Abdul Aziz Muhammad Azam, Fiqh Mu’amalah Sistem Transaksi dalam Fiqih Islam, Cet. 1. (Jakarta; Amzah, 2010), hlm. 331.
[3] Abdul Aziz Muhammad Azzam, Fiqih Mu’amalah Sistem Transaksi dalam Fiqih Islam, hlm. 333-338.
[4] Ibid, hlm. 341-345

Tidak ada komentar:

Posting Komentar